Beranda | Artikel
Meraih Hidayah Ke Jalan Surga
Jumat, 17 Februari 2023

MERAIH HIDAYAH KE JALAN SURGA

Oleh
Ustadz Dr. Syafiq Riza Hasan Basalamah MA

Saya terjaga, di suatu Malam yang gelap gulita dengan hawa dingin yang menusuk ke tulang, sedangkan tubuhku berada di atas sebuah papan pecahan kapal dengan baju yang basah kuyup. Rasa lapar, kantuk dan takut semua bercampur aduk menjadi satu. Saya terombang-ambing tak tahu arah. Gelombang besar datang bergulung-gulung menghempaskanku berulang kali, di kanan dan kiriku banyak juga manusia yang seperti aku. Sirip hiu kadang muncul menciuatkan nyali, namun aku tetap yakin dengan pertolongan Penciptaku. Saya tidak boleh menyerah, dari kejauhan aku mendengar suara memanggil memecah heningnya malam. Saya melihat sebuah pelita yang membelah gelap malam. Dengan sisa tenaga, saya berenang mendatanginya, dengan hati yang penuh harap, kadang berlalu kabut tebal menghalangi pandanganku. Namun saya berkata dalam diri, saya tidak boleh menyerah. Akhirnya dengan izin-Nya, saya sampai ke pelita itu dan selamat dengan menaiki kapal bersama dengan orang-orang yang berusaha dan tidak putus asa.

Kira-kira seperti itulah gambaran hidayah dalam kehidupan ini. Di tengah pertarungan antara al-haq dan al-bathil. Kadang kita terombang-ambing tak tahu arah. Di tengah derasnya  arus fitnah syahwat dan syubhat, kadang kita terseret dan terhempaskan olehnya, belum lagi adanya kabut tebal yang menghalangi kita dari cahaya hidayah, atau kondisi mata kita yang sedang sakit, atau lemahnya niat dan tekad untuk menyelamatkan diri, belum lagi suara sumbang yang membuat kita berpaling dari cahaya pelita atau hiu-hiu yang membuat kita takut dan khawatir dalam mendekati cahaya petunjuk.

Oleh karena itu lebih dari 17 kali dalam sehari semalam seorang Muslim memohon hidayah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena kebutuhan hamba kepada hidayah lebih daripada kebutuhannya kepada makan, minum dan udara. Terlebih, dunia dipenuhi dengan berbagai penghalau kebenaran. Maka menjadi suatu kewajiban bagi setiap Muslim untuk mengetahui jalan-jalan yang mengantarkannya menuju hidayah Allâh Azza wa Jalla , serta berbagai aral melintang yang menghalangi perjalanannya dalam menggapai hidayah.

Di antara Sebab-sebab yang dapat mengantarkan kepada hidayah adalah:

1. Doa
Ketahuilah bahwa hidayah (hidâyatut taufîq) adalah milik Allâh semata. Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai makhluk termulia di sisi-Nya tidak memilikinya. Sehingga pamannya yang sedemikian besar perjuangan dan pengorbanannya membela dan menjaga beliau, akhirnya wafat dalam kondisi kafir. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekalian umatnya, bahwa hanya Dialah yang dapat membimbing siapa yang dikehendakinya :

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ 

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allâh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allâh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”[Al-Qashash/28:56].

Maka tiada jalan yang lebih pintas dalam meraih hidayah melebihi permohonan kepada pemiliknya. Karena Dia k telah menyatakan dalam sebuah hadits qudsi, “Wahai hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya.” (HR. Muslim no. 6737), kalau bukan karena rahmat Allâh dan hidayah-Nya niscaya kita tersesat. Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan wasiat kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, untuk memohon petunjuk dan bimbingan Ilahi dengan berkata, “Ucapkanlah :

اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَاد

Ya Allâh, saya memohon kepada-Mu petunjuk dan ketepatan. (HR. Muslim no. 2725)

Bahkan beliau sendiri Shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang begitu mulianya di sisi Allâh dan telah diberi petunjuk, senantiasa memohon bimbingan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu  bahwa Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa :

اللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

Ya Allâh Azza wa Jalla , sesungguhnya aku memohon kepadaMu petunjuk, ketakwaan, terjaga (dari perbuatan yang merusak kehormatan) dan kekayaan.”(HR. Muslim no: 2721 ),

Dan di antara doa yang beliau ajarkan juga adalah:

اَللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ اْلإِيْمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ

Ya Allâh hiasilah kami dengan keimanan dan jadikanlah kami sebagai penunjuk jalan yg memperoleh bimbingan dariMu”.(HR. An-Nasai no: 1305. Dinyatakan oleh Al-Albani shahih dalam Misykatul Mashabih no: 2497).

Sejatinya doa memiliki peran penting dalam menggapai bimbingan ilahi. Lihatlah bagaimana Ibunda Abu Hurairah yang begitu bencinya kepada Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam n akhirnya memeluk islam berkat doa. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari setelah mendengar omongan yang tidak enak terhadap Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Hurairah mendatangi Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,”Ya Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam , sungguh aku berusaha untuk mendakwahi ibuku agar masuk Islam namun dia masih saja menolak ajakanku. Hari ini kembali aku dakwahi namun dia malah mencaci dirimu. Oleh karena itu berdoalah kepada Allâh agar Dia memberikan hidayah kepada ibu-nya Abu Hurairah”. Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berdoa, “Ya Allâh Azza wa Jalla , berilah hidayah kepada ibu dari Abu Hurairah”, lalu tidaklah Abu Hurairah kembali ke rumahnya melainkan Allâh telah membuka pintu hati ibundanya menerima hidayah Allâh Azza wa Jalla. (HR Muslim no 6551).

Sudah saatnya bagi seorang Muslim untuk membiasakan dirinya memohon hidayah, baik untuk dirinya, keluarganya, ataupun orang lain. Apalagi untuk seorang tokoh masyarakat yang keshalihannya berpengaruh untuk Islam, sebagaimana Doa Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu. Adalah suatu kebiasaan baik yang masih terjaga di beberapa masyarakat Muslim, bila ia merasa kurang suka dengan perbuatan seseorang, ia berkata “Allah Yahdîk” (Moga Allâh memberimu hidayah), walaupun kadang dengan nada kesal.

2. Mujahadah (Berusaha dan berjuang)
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ

Dan orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan menunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [al-’Ankabut/29:69]

Imam Thabari rahimahullah menafsirkan (لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا), “Kami benar-benar akan memberikan taufiq kepada mereka untuk mencapai jalan yang mustaqim”[1].

Dan Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah k mengaitkan hidayah dengan jihad (perjuangan). Maka orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya … dan jihad yang paling wajib adalah berjihad untuk menundukkan diri sendiri, melawan hawa nafsu, memerangi syaitan, dan menundukkan dunia. Barangsiapa berjihad melawan keempat hal ini karena Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang bisa mengantarkannya ke surga-Nya. Dan barangsiapa meninggalkan jihad, maka akan luput darinya petunjuk sebanding dengan jihad yang ditinggalkannya. Al-Junaid berkata, “Dan orang-orang yang berjihad menundukkan hawa nafsu demi kami dengan senantiasa bertaubat, maka Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keikhlasan…”[2].

Perhatikan penutup ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla menutupnya dengan berfirman :

وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ 

Dan sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang Muhsin (berbuat ihsan).”  [al-’Ankabut/29: 69]

Allah menamakan orang yang berjuang mengharap ridha-Nya dengan nama muhsin (orang yang berbuat ihsan atau kebaikan yang lebih) dan berjanji akan bersamanya. Barangsiapa yang Allâh bersamanya maka dia adalah orang yang tertolong dan tak terkalahkan. Dia berjanji memberikan hidayah padamu ke jalan-Nya atas kesungguhanmu berjuang. Ini adalah pahala di dunia, lalu bagaimana dengan pahala di akhirat ? Tatkala engkau esok datang kepada-Nya setelah perjuanganmu di dunia, engkau datang membawa buah dari perjuangan. Sesungguhnya hidayah adalah buah dari perjuangan, dan dengan hidayah kau mendapatkan kecintaan Allâh dan dengan kecintaan-Nya kau meraih kedekatan dengan-Nya”[3].

Jadi, untuk meraih hidayah, doa saja tidak cukup, ia harus diiringi dengan tekad dan usaha , karena tidaklah etis seseorang yang meminta hidayah sedangkan dia berenang di kubangan kemaksiatan, terlena dalam mimpi dan kemalasan. Apabila ia memang ingin mendapatkan hidayah maka sudah seharusnya ia bebaskan dirinya dari kubangan tersebut, bangkit dengan usaha dan perjuangan yang diiringi doa, ataukah ia akan menanti malaikat yang menggandeng tangannya untuk shalat berjamaah ke masjid, dan malaikat lain yang membersihkan rumahnya dari barang-barang haram ??[4]

3. Membaca al Qur’an
Awal sifat yang disematkan kepada al Qur’an adalan hudan (petunjuk) :

الۤمّۤ ۚ ١ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ 

Alif laam miim , Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. [Al-Baqarah/2:1-2]

Lalu, Allâh Azza wa Jalla menegaskan hal ini dalam banyak ayat, di antaranya firman Allâh :

اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ

Sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar menunjukkan kepada yang paling lurus.  [Al-Isrâ’/17:9]

Betapa banyak insan yang mendapatkan hidayah melalui al-Qur’ân. Ada yang karena mendengarnya; Ada yang dengan mengkajinya, walaupun dengan niat mengkritiknya, baik itu dari masa lampau atau pada masa kini. Kedekatan seseorang pada hidayah sebanding dengan kedekatannya kepada al Qur’an. Mereka yang tidak pernah membaca al-Qur’ân dan disibukkan dengan bacaan-bacaan lainnya, akan hidup terombang-ambing dalam samudra keraguan dan kebingungan yang tak bertepian, seperti orang yang mencari hidayah dengan mendalami buku-buku filsafat. Dia seperti orang pandir yang mencari mutiara di padang pasir yang gersang.

Sesungguhnya membaca al-Qur’ân akan menumbuhkan cahaya petunjuk di lubuk hati yang akan menerangi perjalanan hidup hamba, penyembuh untuk segala penyaki, maka sudah seharusnya setiap Muslim mengkhususkan sebagian waktunya dalam setiap hari untuk membaca al-Qur’ân.

4. Mencari sahabat yang baik
Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang berada di atas agama sahabat karibnya, maka hendaknya salah seorang kalian meneliti siapa yang dijadikan sebagai sahabat karibnya. (HR. Abu Dawud no. 4833. Hadits ini dinyatakan oleh al-Albani dalam ash-Shahîhah, no. 127)

Memiliki sahabat yang baik adalah salah satu jalan menuju petunjuk Allâh Azza wa Jalla , karena sahabat itu sahib (menarik). Allâh Azza wa Jalla mengabadikan kisah seorang insan yang tersesat gara-gara sahabatnya. Ia pada akhirnya tenggelam dalam samudra penyesalan yang tak bertepian, tatkala harus dipanggang di dalam api neraka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلٰى يَدَيْهِ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِى اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُوْلِ سَبِيْلًا ٢٧ يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا ٢٨ لَقَدْ اَضَلَّنِيْ عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ اِذْ جَاۤءَنِيْۗ وَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِلْاِنْسَانِ خَذُوْلًا

Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, andai kiranya dulu aku tidak menjadikan si Fulan itu teman akrabku. Sungguh ia telah menyesatkan aku dari al-Qur`ân ketika al-Qur`ân itu telah datang kepadaku.’ Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.”  [Al-Furqân/25:27-29].

Para ahli tafsir menyebutkan bahwa yang zalim di atas adalah Uqbah bin Abi Mu’aith dan yang dimaksud dengan Fulan adalah Ubai bin Khalaf, di mana Uqbah menjadi murtad gara-gara Ubai dan mati dibunuh seusai perang Badar[5].

Peran teman duduk dalam meraih hidayah sangatlah besar. Mereka yang bergaul dan suka duduk bersama orang-orang shalih, walaupun dirinya tidak mencapai derajat keshalihan mereka, niscaya ia akan mengambil berkah keshalihan mereka, sehingga dapat meniti jalan mereka dan jauh dari lorong-lorong kesesatan. Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. al-Bukhâri No. 2101, Muslim No. 2628)

As-Sa’di rahimahullah berkata, “Sudah menjadi tabiat manusia untuk meneladani sahabat atau teman duduknya. Ruh-ruh itu seperti tentara yang yang kompak dan tersusun rapi. Mereka saling terikat satu sama lain dalam kebaikan ataupun yang sebaliknya[6].

5. Menambah ilmu
Dilahirkan menjadi seorang Muslim adalah nikmat Allâh yang patut disyukuri. Ini menuntut kita untuk menyempurnakan islam kita, sehingga menjadi Muslim seutuhnya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖ

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan,.” [Al-Baqarah/2:208]

Biasanya seorang Muslim dari lahir itu tidak akan mengenal agama islam kecuali sesuai dengan yang ada di lingkungannya, baik itu benar atau salah. Bila orang tua tidak shalat maka anak juga akan tidak shalat, walaupun mereka mengaku islam. Berbeda dengan sosok muallaf yang masuk islam karena ia mengetahui hakikat islam, biasanya dia akan lebih giat beribadah dan beramal, karena ia mempelajari islam, maka demi memperkokoh hidayah Allâh Azza wa Jalla . Seorang Muslim dituntut untuk belajar, kalau tidak maka berbagai pemikiran yang menyimpang atau ajakan yang tidak benar akan dengan mudah mempengaruhinya, dan termasuk dari hal ini, adalah menghadiri majlis-majlis ilmu.

6. Mengamalkan ilmu
Setelah mengenal agama islam dengan benar, maka langkah selanjutnya adalah mengamalkannya. Dengannya, Allâh Azza wa Jalla akan membimbing ke jalan yang lurus. Karena semua aturan Allâh sejatinya untuk maslahat manusia, walaupun kadang kala manusia merasa terbebani dengan aturan-aturan itu.  Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَوْ اَنَّهُمْ فَعَلُوْا مَا يُوْعَظُوْنَ بِهٖ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَشَدَّ تَثْبِيْتًاۙ ٦٦ وَّاِذًا لَّاٰتَيْنٰهُمْ مِّنْ لَّدُنَّآ اَجْرًا عَظِيْمًاۙ ٦٧وَّلَهَدَيْنٰهُمْ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًا

… Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). Kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka  jalan yang lurus.’ [An-Nisa’/4:66–68]

Hidayah atau petunjuk yang akan Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan adalah hidayah taufiq sebagaimana disebutkan oleh Thabari dalam tafsirnya (8/528) yang Allâh berikan sebagai balasan atas ketaatannya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Telah disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’ân bahwa sesungguhnya kebaikan kedua terkadang merupakan bentuk pahala atas kebaikan pertama. Demikian pula dengan keburukan kedua; dia terkadang merupakan hukuman atas keburukan pertama[7]. . Dan tidak ada pahala yang lebih mulia bagi seorang hamba yang berbuat ketaatan yang melebihi taufîq Allâh untuk dirinya menuju jalan yang lurus, sebagaimana dalam ayat di atas.

Inilah beberapa jalan untuk menggapai hidayah Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Namun adanya jalan-jalan ini kadang kala tidak dapat membimbing hamba kepada petunjuk Allâh disebabkan ada hal-hal yang menghalanginya. Perkara-perkara yang menghalangi seseorang dari hidayah itu sangatlah banyak.

Penghalang-Penghalang Hidayah
1. Lemahnya pengetahuan
Kesempurnaan hamba itu terletak dalam dua hal; bisa mengenali kebenaran dari kebatilan dan bisa mengutamakan kebenaran di atas kebatilan. Lalu ada sebagian manusia yang mengenali kebenaran namun hasrat untuk mengutamakannya atas kebatilan lemah, dan biasanya orang yang jahil itu lebih mudah untuk mengikuti kebenaran tatkala ia mengetahuinya. Tiada yang tersisa darinya kecuali menguatkan tekad untuk mengikuti kebenaran yang telah diketahuinya. Oleh karena itu, di antara doa Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلَّلهُمَّ أَسْأَلُكَ الْعَزِيْمَةَ عَلَى الرُّشْدِ

Aku memohon kepadaMu kebulatan tekad dalam petunjuk (HR. An-Nasai, no. 1304. Hadits ini dinyatakan shahîh oleh al-Albâni dalam Shahîhah, no. 3238).

Kebodohan adalah penghalang yang umum di kalangan manusia. Karena manusia biasanya akan memusuhi sesuatu yang tidak dikenalnya dan memusuhi orang-orang yang membawanya. Realita menunjukkan hal itu. Sebagian masyarakat awam benci terhadap sunnah karena kejahilan mereka. Juga peristiwa antara Nabi Musa q dan Khadir q adalah salah satu bukti bahwa ketidaktahuan menjadi salah satu penghalang dari menerima kebenaran, di mana sejak dari awal Khadir q telah mengingatkan Nabi Musa Alaihissallam dengan berkata :

قَالَ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا ٦٧ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلٰى مَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ خُبْرًا   

Dia berkata, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku”. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum diberikan kepadamu ilmunya?“ [al-Kahfi/18:67-68]

Ketidaktahuan Nabi Musa q membuatnya tidak dapat bersabar melihat apa yang dilihatnya, sehingga beliau memusuhinya. Dan pada masa kini, kita dapati orang-orang yang tenggelam dalam kesesatan karena faktor kebodohan, meskipun secara intelektual mereka adalah orang-orang yang cerdas dan brilian. Kebodohan akan semakin menjadi penghalang hamba dari menggapai hidayah bila berbalut kebencian kepada orang yang membawa kebenaran tersebut.

2. Ketidaklayakan wadah untuk menerima hidayah
Yang dimaksud dengan wadah adalah hati manusia. Terkadang ilmu telah dimiliki, al-Qur’ân telah dibacakan, namun dia tetap saja tidak beranjak dari jalan kesesatan.

Ibnul Qayyim t menjelaskan, “Tidak hadirnya hidayah itu bisa jadi karena faktor wadah, dan kadang karena tidak adanya alat hidayah atau karena Allâh tidak menghendaki. Dan hidayah yang sebenarnya tidak akan tercapai kecuali tatkala 3 hal ini berkumpulnya. Allâh Azza wa Jalla telah berfirman (tentang orang-orang munafik).

وَلَوْ عَلِمَ اللّٰهُ فِيْهِمْ خَيْرًا لَّاَسْمَعَهُمْۗ وَلَوْ اَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَّهُمْ مُّعْرِضُوْنَ 

Kalau kiranya Allâh mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allâh menjadikan mereka mau mendengar (peringatan Allâh dalam al-Qur’an).  Dan jikalau Allâh menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)” [Al-Anfâl/8:23].

Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Ia memutuskan dari mereka bahan untuk mendapatkan petunjuk yaitu memperdengarkan kepada hati mereka dan memahamkannya apa yang bermanfaat baginya dikarenakan wadahnya tidak layak, di mana tidak ada kebaikan di dalamnya. Sesungguhnya seseorang itu akan tunduk kepada kebenaran, condong kepadanya, berusaha mencarinya, cinta kepadanya dan bersungguh-sungguh menggapainya, senang menerimanya, jika kebaikan itu ada dalam hatinya. Sementara orang-orang itu di dalam hatinya, tidak ada kebaikan sedikitpun. Sampainya petunjuk ke hati mereka seperti sampainya hujan yang turun dari langit dan jatuh di tanah yang keras di dataran tinggi yang tidak dapat menyimpan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput. Ia tidak bisa menerima air dan tidak pula menumbuhkan tanaman. Air pada hakekatnya adalah rahmat dan kehidupan, namun tempat tersebut tidak dapat menerimanya. Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menegaskan makna ini untuk mereka dengan firmannya, “Dan jikalau Allâh menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)”. Dia memberitahukan bahwa di samping  tidak bisa menerimanya wadah dalam diri mereka sesungguhnya ada penyakit lain yaitu kibr, berpaling dan rusaknya niat, andaikata mereka memahami mereka tetap tidak akan tunduk dan mengikuti kebenaran dan tidak pula mengamalkannya”[8].

Pada hakekatnya wadah (hati) akan menjadi layak menerima hidayah dengan dua hal. Pertama, pemahaman yang baik; Kedua, niat yang baik juga. Apabila salah satu darinya hilang, maka hidayah akan menjumpai kesulitan untuk bersemayam di hatinya[9].

3. Hasad dan kibr
Hasad dan kibr adalah salah satu pengotor wadah hidayah yaitu hati. Keduanya menjadikan hati tidak dapat menerima cahaya petunjuk ilahi yang turun, ilmu dan kebenarannya yang diketahuinya tidak akan berguna, karena kabut kesombongan membuatnya buta. Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata :

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia. (HR Muslim, no. 2749), Seseorang yang merasa lebih baik, lebih pinter, lebih mulia dari orang lain, biasanya ia akan dengan mudah menolak kebenaran.

Kibr adalah dosa pertama yang dilakukan, di mana kesombongan iblis terhadap Adam itu menyeretnya untuk tidak mematuhi perintah Allâh Azza wa Jalla,

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ 

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!,’ Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” [Al-Baqarah/2:34].

Sehingga Iblis menjadi panutan bagi orang-orang sombong yang menolak kebenaran. lihat di dalam al-Qur’ân berbagai kisah kaum-kaum yang menolak nabi mereka, seperti kisah Nabi Nûh Alaihissallam (Asy-Syu’ara, ayat ke-111), Nabi Shaleh Alaihissallam (Al-A’râf, ayat ke-75 sampai dengan ayat ke-77) Nabi Syu’aib Alaihissallam (Al-A’râf, ayat ke-88), Nabi Musa bersama Fir’aun ( al Mu’minun, ayat ke-47).

Adapun hasad yang kadang berbalut kibr seperti Iblis adalah penyakit hati akut yang menjadi dinding penghalang hidayah, sebagaimana penyebab tertinggalnya Abu Jahal dan yang semisalnya dari kereta hidayah. Saat ia ditanya oleh seseorang tentang penyebab yang menghalanginya untuk beriman kepada Muhammad Shaallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ia mengetahui kebenarannya, “Kami berlomba dengan Bani Hasyim dalam hal kehormatan, sampai tatkala kita sudah seperti dua kuda yang sedang berpacu, mereka mengatakan, “Ada Nabi dari kami, yang mendapatkan wahyu dari langit”, maka kapan kita bisa mendapatkannya, demi Allâh kami tidak akan beriman kepadanya”[10].

Begitu pula orang-orang Yahudi di masa Nabi, padahal mereka benar-benar mengetahui kebenaran Nabi Muhammad Shaallallahu ‘alaihi wa sallam , namun karena hasad mereka menolak kenabiannya. Allâh Azza wa Jalla.

وَلَمَّا جَاۤءَهُمْ كِتٰبٌ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْۙ وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۚ فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ مَّا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهٖ ۖ فَلَعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ

” Dan setelah datang kepada mereka al-Qur’an dari Allâh yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, lalu mereka ingkar kepadanya. Maka la’nat Allâh Azza wa Jalla -lah atas orang-orang yang ingkar itu.”  [Al-Baqarah/2:89]

4. Cinta kedudukan dan jabatan
Manusia diciptakan dengan kecenderungan kepada dunia, kadang posisi dan jabatan penting yang dipangkunya membuatnya terbuai dan mabuk, sehingga walaupun cahaya kebenaran datang menghampiri dirinya, dia tidak menggubrisnya karena takut kehilangan kedudukannya. Seperti yang terjadi dengan Heraclius, raja Romawi di mana setelah perbincangannya dengan Abu Sufyan, ia berkata, “Andai kata apa yang kau katakan benar, niscaya ia akan mengusai tempat kedua kakiku ini, dan seandainya aku tahu bahwa aku bisa bebas sampai kepadanya, pastilah aku akan berupaya untuk menemuinya, dan seandainya aku di sisinya, pastilah aku akan membasuh kakinya.”(HR. Al-Bukhâri, no. 7)

Namun ia tidak beriman, karena kecintaannya kepada kekuasaannya.

5. Anggapan bahwa mengikuti kebenaran itu mencoreng dan mencela tradisi keluarga dan nenek moyang.
Seperti yang terjadi dengan Abu Thalib paman Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam , di mana ia sama sekali tidak meragukan kebenaran agama yang dibawa Muhammad Shaallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan ia berkata :

وَعَرَضْتَ دِينًا قَدْ عَرَفْتُ بِأَنَّهُ … مِنْ خَيْرِ أَدْيَانِ الْبَرِيَّةِ دِينَا
لَوْلَا الْمَلَامَةُ أَوْ حِذَارِي سُبَّةً … لَوَجَدْتَنِي سَمْحًا بِذَاكَ مُبِينَا

Engkau telah menawarkan sebuah agama, yang aku telah mengetahui, bahwa ia adalah agama terbaik di muka bumi ini.

Andai bukan karena takut celaan dan hinaan, tentu engkau akan melihatku menerima agama ini dengan lapang dada  dan terang-terangan.(Dalâ-il Nubuwwah, Baihaqi 2/188).

Perkara itulah yang menyebabkan Abu Thalib tetap kufur. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Al-Musayyib Radhiyallahu anhu , dari ayahnya ia berkata : Ketika Abu Thâlib hampir mati, Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya dan beliau mendapati Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughiirah di sisi Abu Thâlib. Nabi Shaallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ

“Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah; satu kalimat yang aku dapat berhujjah membelamu kelak di hadapan Allâh Azza wa Jalla ”. Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata, “Wahai Abu Thâlib, apakah engkau membenci agama ‘Abdul Muthallib ?” Rasûlullâh Shaallallahu ‘alaihi wa sallam tidak henti-hentinya mengulangi kalimat tersebut agar Abu Thâlib mengucapkannya, namun keduanya juga mengulang apa yang telah mereka katakan sebelumnya. Hingga akhir perkataan Abu Thâlib saat kematiannya adalah : di atas agama ‘Abdul-Muthallib, dan menolak untuk mengucapkan Laa ilaaha illallaah. (HR. Al-Bukhâri no. 4772; Muslim no. 24)

Dan Tidak sedikit dari manusia yang berdalih dengan tradisi dan budaya, dan bila diajak kepada kebenaran yang berdasarkan dalil dari al Qur’an dan sunnah, ia akan menolak cahaya itu dengan berkata, “ini sudah tradisi, ajaran nenek moyang, budaya yang harus dilestarikan” sekedar taklid buta plus fanatisme, tanpa mau melihat apakah perbuatan itu diridhai oleh Allâh atau tidak, sehingga cahaya hidayah sulit menembus hatinya, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا اِلٰى مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ قَالُوْا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” [Al-Mâidah/5:104]

Masih banyak lagi sebab-sebab yang menghalangi hamba dari hidayah dan sebagai penutup saya akan menukil perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau berkata :

“Sebab-sebab yang menghalangi hamba dari menerima kebenaran banyak sekali, di antaranya adalah kejahilannya dengan kebenaran itu, sebab ini adalah yang paling umum atas kebanyakan manusia, karena orang yang jahil terhadap sesuatu biasanya ia akan memusuhinya dan memusuhi yang membawanya, maka bila sebab ini ditambah dengan kebencian terhadap orang yang menyuruh kepada kebenaran itu, dan permusuhannya terhadapnya serta hasad, maka penghalang dari menerima kebenaran semakin kuat, dan bila ditambah dengan tradisi, kebiasaan dan pertumbuhannya di atas ajaran nenek moyangnya, dan orang-orang yang dicintai dan diagungkannya penghalangnya akan semakin kuat, lalu bila ditambah lagi dengan dugaannya bahwa kebenaran yang ia diseru kepadanya bakal menghalanginya dari jabatannya, kedudukannya, syahwatnya, dan tujuan-tujuannya, maka penghalang itu akan semakin kuat, lalu bila ditambah lagi dengan ketakutannya kepada teman atau kelompok dan kaumnya akan diri, harta dan kedudukannya, maka penghalang itu semakin menjadi kuat”[11].

Semoga Allâh menjauhkan kita dari semua sebab yang menghalangi kita dari menerima kebenaran, dan membimbing kita ke shirathal mustaqim.

Refrensi:

  1. Hidâyatul Hayara fi ajwibatil Yahud wan Nashara, Ibnul Qayyim, tahqiq: Muhammad Ahma al Haaj, Darul Qalam, Jeddah, 1426 H
  2. Al-Fawâ-id, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Ilmiyah, Bairut, 1393 H
  3. Adabun Nafs, Muhammad bin Ali al Hakim Tirmidzi, tahqiq: Dr Ahmad Abdurrahim Sayih, Dar Mishriyah Lubnaniyah, Mesir, 1423 H.
  4. Al-‘Iqdust Tsamîn fi syarh Ahâdîts Ushuliddien, Husain bin Ghannam, tahqiq: Muhammad Abdullah Habdan, Fahrast Maktabah Malik Fahd al Wathaniyah, 1423 H.
  5. Bahjatu Qulûbil Abrâr, Sa’di, Wizaratusy Syu’un Islamiyah, Saudi Arabia, 1423.
  6. Syifâ-ul ‘Alîl, Ibnul Qayyim, Darul Ma’rifah, Bairut, 1398 H.
  7. Tafsir Thabari, Tahqiq: Ahmad Syakir, Muassah Risalah, 1420 H.

Syafiq Riza Hasan Basalamah
Madinah Nabawiyah, 7 Jumadal Akhirah 1434 H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsir Thabari 20/63
[2] al-Fawâ-id, hlm. 59
[3] Adabun Nafs, al Hakim Tirmidzi, hal. 101
[4] Lihat, al-‘Iqdust Tsamîn fi syarh Ahâdîts Ushuliddîn, hlm. 154
[5] Tafsir Thabari 19/262-263
[6] Bahjatul Qulbil Abrâr, hlm. 139-140
[7] Majmû’ul Fatâwâ, 14/240
[8] Ighâtsatul Lahfan min Mashâ-idisy Syaithân, 2/171
[9] Syifâ‘ul ‘Alîl, Ibnul Qayyim, hlm. 97
[10] Dalâ-ilun Nubuwwah, Baihaqi 2/206
[11] Hidâyatul Hayara, hlm.244


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/76012-meraih-hidayah-ke-jalan-surga.html